Cari Blog Ini

Minggu, 15 Juli 2012

KONSEP DASAR NYERI


Pengertian nyeri

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan

Fisiologi nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor,secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
Teori Pengontrolan nyeri (Gate control theory)
Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan (Tamsuri, 2007)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.
Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh.Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P. tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk melepaskan endorfin (Potter, 2005)
Respon Psikologis
respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien.
Arti nyeri bagi setiap individu berbeda-beda antara lain :
1) Bahaya atau merusak
2) Komplikasi seperti infeksi
3) Penyakit yang berulang
4) Penyakit baru
5) Penyakit yang fatal
6) Peningkatan ketidakmampuan
7) Kehilangan mobilitas
8) Menjadi tua
9) Sembuh
10) Perlu untuk penyembuhan
11) Hukuman untuk berdosa
12) Tantangan
13) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain
14) Sesuatu yang harus ditoleransi
15) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki
Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu dan juga faktor sosial budaya
Respon fisiologis terhadap nyeri
1) Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)
a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate
b) Peningkatan heart rate
c) Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP
d) Peningkatan nilai gula darah
e) Diaphoresis
f) Peningkatan kekuatan otot
g) Dilatasi pupil
h) Penurunan motilitas GI
2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)
a) Muka pucat
b) Otot mengeras
c) Penurunan HR dan BP
d) Nafas cepat dan irreguler
e) Nausea dan vomitus
f) Kelelahan dan keletihan
Respon tingkah laku terhadap nyeri
1) Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:
2) Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)
3) Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)
4) Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan
5) Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan nyeri)
Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.
Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:
1) Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)
Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien.
2) Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)
Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.
Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.
Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.
3) Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)
Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath)dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.
Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
1) Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wnita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3) Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
5) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6) Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.
7) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
8) Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
9) Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan
Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
1) skala intensitas nyeri deskritifskala intensitas nyeri deskritif
2) Skala identitas nyeri numerik
Skala identitas nyeri numerik
3) Skala analog visual
Skala analog visual
4) Skala nyeri menurut bourbanis
Skala nyeri menurut bourbanis
Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adlah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).

Selasa, 26 Juni 2012

sejarah fisioterapi di indonesia



Fisioterapi di Indonesia pada awalnya merupakan satu profesi (lebih tepatnya satu vokasi) kesehatan. Dimulai dari didirikannya Sekolah Perawat Physiotherapy di Solo tahun 1956 oleh Bapak Fisioterapi Indonesia Prof.dr. Soeharso (Alm). Beliau juga merupakan pioneer dalam keahlian bidang orthopedi melalui pendirian lembaga Orthopedi dan Prothese Solo. Lembaga ini merintis penanganan awal dari upaya rehabilitasi medik penderita cacat tubuh terutama pada cacat veteran korban revolusi fisik 1945 dan cacat anak akibat polio myelitis yang pada saat itu banyak terjadi. Baik untuk pelayanan pra bedah dan pasca bedah orthopedi jasa pelayanan fisioterapi sangat diperlukan.

Senin, 14 Mei 2012

SPRAIN ANKLE


Sprain ankle  adalah kondisi terjadinya penguluran dan kerobekan pada ligamentum lateral compleks. Hal ini disebabkan oleh adanya gaya inversi dan plantar fleksi yang tiba-tiba saat kaki tidak menumpu sempurna pada lantai/ tanah, dimana umumnya terjad pada permukaan lantai/ tanah yang tidak rata. Sprain ankle memiliki derajat sprain sesuai tingkat kerusakannya. Derajat I sprain ankle umumnya terjadi penguluran pada ligamentum talofibular anterior sehingga pasien mengalami nyeri yang ringan dan sedikit bengkak. Sedangkan derajat II dan III sprain ankle, kerobekan parsial dan komplet telah terjadi pada ligamentum lateral compleks ankle (ligamentum talofibular anterior, ligamentum calcaneofibular, ligamentum calcaneocuboideum, ligamentum talocalcaneus dan ligamentum talofibular posterior). Pada derajat II dan III, pasien mengalami nyeri hebat (aktualitas tinggi), bengkak dan penurunan fungsi ankle (gangguan berjalan), sehingga umumnya pasien langsung berobat ke dokter/ fisioterapi untuk mendapatkan terapi. Terapi PRICE sering digunakan pada tahap akut sprain ankle, yang kemudian diikuti dengan program exercise untuk memperkuat stabilitas sendi ankle.

Pada umumnya, penderita khususnya olahragawan yang mengalami sprain ankle derajat I tidak begitu memperhatikan kondisi yang dialaminya karena hanya merasa nyeri ringan dan sedikit bengkak sehingga tidak dibawa ke dokter/ fisioterapi. Karena kondisinya tidak diperhatikan, mereka tetap melakukan aktivitas olahraga sehingga dapat terjadi penguluran yang berulang pada ligamentum talofibular anterior. Penguluran yang berulang-ulang akan menimbulkan nyeri yang meningkat pada sisi lateral ankle, biasanya bersifat intermittent atau  kadang-kadang konstan, dan cenderung meningkat jika melakukan aktivitas olahraga. Kondisi ini menjadi kronik sprain ankle. 

Pada kronik sprain ankle, akan terjadi kerusakan struktur jaringan. Seperti pada ligamentum akan terjadi kerobekan, yang dapat merangsang serabut saraf afferen bermyelin tipis (serabut saraf A delta dan tipe C). Impuls tersebut dibawa ke ganglia akar saraf dorsalis dan merangsang produksi “P” substance yang memicu terjadinya reaksi radang. Kemudian impuls tersebut dibawa ke cornu dorsalis medula spinalis dan dikirim  ke level SSP yang lebih tinggi melalui traktus spinothalamicus. Pada level SSP yang lebih tinggi (cortex sensorik, hipothalamus & limbik system) impuls tersebut mengalami proses interaksi yang kemungkinan menghasilkan suatu perasaan subyektif yang dikenal dengan persepsi nyeri. Otot juga ikut terulur lalu akan menjadi spasme, timbul abnormal crosslink yang dapat mengganggu system metabolisme dan menimbulkan nyeri. Pada pembuluh darah akan terjadi haemorhage dan dilatasi yang dapat meningkatkan perlepasan zat-zat iritan yang akan meningkatkan sensitivitas nocisensorik sehingga akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada ujung-ujung saraf pada jaringan yang mengalami  kerusakan akan mengeluarkan zat-zat iritan berupa prostaglandin, bradikinin dan histamine yang akan merangsang saraf afferent A delta dan C yang dapat meningkatkan sensitivitas nocisensorik sehingga timbul nyeri. Penderita biasanya menghentikan aktivitas olahraganya karena nyeri yang meningkat. Dengan demikian, problematik utama pada kronik sprain ankle adalah peningkatan intensitas nyeri yang bisa menyebabkan gangguan gerak dan fungsi ankle.

Pemeriksaan yang mengarah riwayat penyakit sebelumnya dan tes-tes spesifik pada sprain ankle. Pemilihan intervensi yang tepat sesuai dengan aktualitas dan stadium penyakit, kedalaman jaringan, dan patologi jaringan sangat diperlukan.

Pemilihan Ultrasound sebagai modalitas utama pada kondisi kronik sprain ankle adalah tepat karena efek mekanik dan terapeutik yang dihasilkan oleh Ultrasound. Ultrasound merupakan modalitas fisioterapi yang menghasilkan gelombang suara dengan frekeunsi antara 1 – 3 MHz. Ultrasound dapat menghasilkan efek mekanik, termal dan microtissue damage. Adanya efek mekanik dan ultrasound menghasilkan panas dijaringan sehingga terjadi peningkatan metabolisme dan sirkulasi darah. Disamping itu, efek mekanik yang continue dapat menghasilkan microtissue damage didalam jaringan sehingga memicu terjadinya reaksi radang baru secara fisiologis yang akhirnya terjadi proses penyembuhan jaringan.

Elastic bandage merupakan salah satu stabilisasi pasif yang digunakan pada penderita dengan gangguan pada sendi ankle. Pemakaian Elastic bandage telah diketahui manfaatnya untuk mencegah terjadinya cidera dan juga untuk menjaga stabilitas sendi ankle, karena dengan pemakaian elastic bandage tersebut maka ankle tersangga dengan baik sehingga gerakan-gerakan yang diinginkan atau gerakan-gerakan ekstrim dapat dihindari. Keluhan nyeri yang terjadi pada kondisi sprain ankle dapat dikurangi denga pemakaian Elastic bandage, hal ini disebabkan karena Elastic bandage akan menjaga stabilitas sendi ankle sehingga iritasi yang berulang-ulang akan dapat dicegah pada saat melakukan gerakan pada sendi ankle. Elastic bandage juga berfungsi sebagai support dimana otot-otot terfiksir dengan merata sehingga memungkinkan pemblokiran gangguan metabolik pada saat peregangan jaringan.

Selain itu, Elastic Bandage juga berperan dalam modulasi nyeri pada level sentral yang melibatkan sistim limbic sebagai pusat emosional. Hal ini dapat terjadi karena dengan pemakaian elastic bandage pada penderita sprain ankle, secara psikologis dapat mempengaruhi emosional penderita, dimana penderita sudah merasa aman dengan menggunakan elastic bandage sehingga penderita dapat melakukan aktifitas kembali tanpa merasa takut, dan keadaan ini secara temporer dapat memblokade impuls nyeri dikornu posterior medulla spinalis. Dengan adanya fiksasi atau stabilisasi pasif memungkinkan untuk diberikan latihan stabilisasi ankle.
Latihan stabilisasi ankle dilakukan dengan kontraksi otot statik (isometrik). Karena ini akan meberikan suatu reaksi tidak terjadi perubahan panjang dari otot, tonus otot meningkat. Penerapan latihan stabilisasi dapat membantu melindungi serta memperbaiki problem yang muncul akibat instabilitas atau nyeri yang diakibatkan oleh kelemahan. Nyeri dan ketidakmampuan akan bertambah dengan munculnya kelemahan otot. Otot-otot ini merupakan komponen yang penting dalam membantu menstabilisir persendian, sedang kelemahan otot-otot dapat mengakibatkan semakin parahnya cidera. Dengan latihan stabilisasi akan  terjadi penguatan otot-otot sehingga dapat membantu serta memperbaiki problem yang muncul akibat instabilitas atau nyeri yang diakibatkan oleh kelemahan. Akibat dari latihan stabilisasi, maka otot-otot stabilisator aktif pada ankle dapat memperbaiki kekuatan, ukuran serta mencegah peradangan. Pengaruh dari latihan stabilisasi juga akan meningkatkan peredaran darah pada persendian dan nutrisi tulang disamping karena memperbaiki kekuatan dan fungsi resiko terluka atau cidera kronik pada persendian. Latihan stabilisasi juga memperbaiki system peredaran darah oleh adanya pumping sehingga mengatasi terjadinya pembengkakan yang dapat mengganggu gerak dan fungsi sendi dan mampu mengurangi nyeri pada level sensorik. Dengan berkurangnya nyeri akan menimbulkan peningkatan kemampuan menyangga beban tubuh sehingga meningkatkan kemampuan fungsional.

Frozen shoulder

Frozen shoulder merupakan penyakit dengan karakteristik nyeri dan keterbatasan gerak, dan penyebabnya idiopatik yang sering dialami oleh orang berusia 40-60 tahun dan memiliki riwayat trauma sering kali ringan. Penyebab frozen shoulder tidak diketahui, diduga penyakit ini merupakan respon auto immobization terhadap hasil – hasil rusaknya jaringan lokal. Meskipun penyebab utamanya idiopatik, banyak yang menjadi predisposisi frozen shoulder, selain dugaan adanya respon auto immobilisasi seperti yang dijelaskan di atas ada juga faktor predisposisi lainnya yaitu usia, trauma berulang (repetitive injury), diabetes mellitus, kelumpuhan, pasca operasi payudara atau dada dan infark miokardia, dari dalam sendi glenohumeral (tendonitis bicipitalis, infalamasi rotator cuff, fracture) atau kelainan ekstra articular (cervical spondylisis, angina pectoris).

Pada frozen shoulder terdapat perubahan patologi pada kapsul artikularis glenohumeral yaitu perubahan pada kapsul sendi bagian anterior superior mengalami synovitis, kontraktur ligamen coracohumeral, dan penebalan pada ligamen superior glenohumeral, pada kapsul sendi bagian anterior inferior mengalami penebalan pada ligamen inferior glenohumeral dan perlengketan pada ressesus axilaris, sedangkan pada kapsul sendi bagian posterior terjadi kontraktur, sehingga khas pada kasus ini rotasi internal paling bebas, abduksi terbatas dan rotasi eksternal paling terbatas atau biasa disebut pola kapsuler.

Perubahan patologi tersebut merupakan respon terhadap rusaknya jaringan lokal berupa inflamasi pada membran synovial.dan kapsul sendi glenohumeral yang membuat formasi adhesive
 [1] sehingga menyebabkan perlengketan pada kapsul sendi dan terjadi peningkatan viskositas cairan sinovial sendi glenohumeral dengan kapasitas volume hanya sebesar 5-10ml, yang pada sendi normal bisa mencapai 20-30ml [2], dan selanjutnya kapsul sendi glenohumeral menjadi mengkerut, pada pemeriksaan gerak pasif ditemukan keterbatasan gerak pola kapsular dan firm end feel dan inilah yang disebut frozen shoulder.

Histologis frozen shoulder yang terjadi pada sendi glenohumeral seperti telah dijelaskan di atas adalah kehilangan ekstensibilitas dan termasuk abnormal cross-bridging diantara serabut collagen yang baru disintesa dengan serabut collagen yang telah ada dan menurunkan jarak antar serabut yang akhirnya mengakubatkan penurunan kandungan air dan asam hyaluronik secara nyata. Pada pasca immobilisasi perlekatan jaringan fibrous menyebabkan perlekatan atau adhesi intra artikular dalam sendi sinovial dan mengakibatkan nyeri serta penurunan mobilitas.

Reserve scapulohumeral rhytm yang terjadi pada penderita frozen shoulder menyebabkan kompensasi skapulothorakal, kompensasi tersebut menyebabkan overstretch karena penurunan lingkup gerak sendi skapulothoracik, hal tersebut juga membuat sendi acromioclavicular menjadi hipermobile. Keterbatasan gerak yang ditimbulkan oleh frozen shoulder dapat mengakibatkan hipomobile pada facet sendi intervertebral lower cervical dan upper thoracal.

Pada tahap kronis frozen shoulder dapat menyebabkan antero position head posture karena hipomobile dari struktur cervico thoracal. Hipomobile facet lower cervical dan upper thoracal  juga dapat menyebabkan kontraktur pada ligamen supraspinosus, ligamentum nuchae dan spasme pada otot–otot cervicothoracal , spasme tersebut bila berkelanjutan dapat menyebabkan nyeri pada otot–otot cervicothoracal.

Nyeri yang ditimbulkan oleh frozen shoulder dan spasme cervico thoracal akibat frozen shoulder dapat menyebabkan terbentuknya “vicious circle of reflexes” yang mengakibatkan medulla spinalis membangkitkan aktifitas efferent sistem simpatis sehingga dapat menyebabkan spasme pada pembuluh darah kapiler akan kekurangan cairan sehingga jaringan otot dan kulit menjadi kurang nutrisi. Pengaruh refleks sistem simpatik pada otot pada tahap awal menunjukkan adanya peningkatan suhu, aliran darah, gangguan metabolisme energi phospat tinggi dan pengurangan konsumsi oksigen pada tahap akhir penyakit nonspesifik dan abnormalitas histology dapat terjadi.

Hal tersebut jika tidak ditangani dengan baik akan membuat otot-otot bahu menjadi lemah dan dystrophy. Karena stabilitas glenohumeral sebagian besar oleh sistem muskulotendinogen , maka gangguan pada otot-otot bahu tersebut akan menyebabkan nyeri, menurunnya mobilitas, sehingga mengakibatkan keterbatasan LGS bahu.

Ultrasound merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang secara klinis sering diaplikasikan untuk tujuan terapeutik pada kasus-kasus tertentu termasuk kasus muskuloskeletal. Terapi ultrasound menggunakan energi gelombang suara dengan frekuensi lebih dari 20.000Hz yang tidak mampu ditangkap oleh telinga atau pendengaran. Dengan  pemberian  modalitas  ultra  sonic  dapat terjadi  iritan  jaringan yang menyebabkan reaksi fisiologis seperti kerusakan jaringan,  hal  ini  disebabkan oleh efek  mekanik  dan  thermal  ultra sonik. 

Pengaruh mekanik tersebut juga dengan terstimulasinya saraf polimedal dan akan dihantarkan ke ganglion dorsalis sehingga memicu produksi “P subtance” untuk selanjutnya terjadi inflamasi sekunder atau dikenal “neurogeic inflammation”. Namun dengan terangsangnya “P” substance tersebut mengakibatkan proses induksi proliferasi akan lebih terpacu sehingga mempercepat terjadinya penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan. Pengaruh nyeri terjadi secara tidak langsung yaitu dengan adanya pengaruh gosokan membantu “venous dan lymphatic”, peningkatan kelenturan jaringan lemak sehingga menurunnya nyeri regang dan proses percepatan regenerasi jaringan.

Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS) merupakan suatu cara penggunaan energi listrik guna merangsang sistem saraf melalui permukaan kulit dan terbukti efektif untuk merangsang berbagai tipe nyeri.

Pemberian TENS dapat menurunkan nyeri, baik dengan cara peningkatan vaskularisasi pada jaringan yang rusak tersebut , maupun melalui normalisasi saraf pada level spinal maupun supra spinal, sehingga dengan berkurangnya nyeri pada bahu didapatkan gerakan yang lebih ringan. Efek TENS terhadap pengurangan nyeri juga dapat mengurangi spasme dan meningkatkan sirkulasi, sehingga memutuskan lingkaran “viscous circle of reflex” yang pada akhirnya dapat meningkatkan LGS.

TENS efektif mengurangi nyeri melalui aktivasi saraf berdiameter besar dan kecil melalui kulit yang selanjutnya akan memberikan informasi sensoris ke saraf pusat. TENS menghilangkan nyeri dikaitkan melalui sistem reseptor nosiseptif dan mekanoreseptor. Sistem reseptor nosiseptif bukan akhiran saraf bebas, melainkan fleksus saraf halus tak bermyelin yang mengelilingi jaringan dan pembuluh darah. Pengurangan nyeri yang ditimbulkan oleh TENS dapat  juga meningkatkan kekuatan otot karena menormalkan aktivitas α motor neuron sehingga otot dapat berkontraksi secara maksimal, dan berkurangnya “refleks exitability” dari beberapa otot antagonis gelang bahu sehingga otot agonis dapat melakukan gerakan, dan karena stabilitas terbesar pada sendi bahu oleh otot, maka hal tersebut meningkatkan mobilitas sendi bahu.

Contrax Relax and Stretching merupakan suatu teknik terapi latihan khusus yang ditujukan pada otot yang spasme, tegang/memendek untuk memperoleh pelemasan dan peregangan jaringan otot. Pada  Contrax Relax and Stretching posisi tangan dibelakang leher terjadi gerakan abduksi dan rotasi eksternal mencapai pembatasan, posisi kapsul sendi mengarah ke inferior,  terjadi peregangan pada kapsul anterior dan pada saat kontraksi isometrik terjadi peregangan pada kapsul posterior.

Sedangakan pada Contrax Relax and Stretching posisi tangan dibelakang punggung terjadi gerakan rotasi internal mencapai pembatasan, posisi kaopsul sendi mengarah ke anterior, terjadi terjadi peregangan pada kapsul anterior dan pada saat kontraksi isometrik terjadi peregangan pada kapsul posterior. Pada spasme otot yang berlangsung lama akan diikuti penjepitan vaskuler dan berlanjut terjadinya ischemik jaringan otot yang akhirnya diikuti proses inflamasi dan nyeri yang menimbulkan sirkulasi spasme. Karena proses inflamasi tersebut disusul timbulnya ”abnormal cross link” yang melekatkan jaringan ikat otot dimana ketika spasme pada  posisi memendek akibatnya terjadi kontraktur. Pada kasus ini peregangan akan efektif bila dilakukan setelah diperoleh pelemasan dengan teknik contrax relax.

Teknik peregangan otot setelah contrax relax dikenal sebagai contrax relax and stretching.

Pada saat dilakukan kontraksi isometrik otot sendi bahu juga diperoleh gerakan minimal sendi bahu tanpa menimbulkan iritasi noxius dan sekaligus memacu sirkulasi dan proses metabolisme struktur jaringan sendi, disini akan diperoleh peningkatan kelenturan jaringan ikat sendi dan nyeri akan berkurang.

[1] Thomson, Ann M., Tidy’s physiotherapy, 12th ed, Butterworth-Heinemann, 1991. hal: 71[2] Donatelli, Robert ; Wooden, Micheal J, Orthopaedic Physical therapy, Churchil Livingstone Inc, 1989. hal: 160

Cerebrovaskular Accident dan Brain Injury


PENDAHULUAN

Berbagai masalah kesehatan masyarakat bermunculan akhir-akhir ini. Salah satunya adalah penyakit yang timbul akibat lesi vaskuler di susunan saraf yang merupakan penyebab utama cacat menahun pada orang yang menderita penyakit ini.. Lesi vaskuler ini bisa terjadi di otak, batang otak dan di medulla spinalis.
Istilah CVA (Cerebrovaskular Accident) yang masih dipakai saat ini kurang tepat, karena sebenarnya kejadian defek ini bukan suatu accident (kecelakaan atau secara kebetulan) tapi gejala-gejala dirinya sudah dirasakan jauh sebelum terjadi serangan, dimana gejala-gejala tersebut masih sangat ringan. biasanya diabaikan begitu saja, dan tahu-tahu sudah terjadi serangan stroke. Jadi istilah yang lebih tepat adalah Cerebrovascular Disease (CVD) bukan CVA.
Pada umumnya, penyakit vaskular yang mendasari terjadinya stroke terbagi dalam dua kelompok berbasis, yaitu penyakit vaskular utama yang dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah adalah aterosklerosis dan arteriosklerosis. Sedangkan penyakit vaskuler lainnya adalah endarteritis reumatik dan sifilitik, periarteritis nodosa dan lupus eritematosus diseminata.
. Secara garis besar, penderita pasca stroke membutuhkan tidak hanya fisioterapi tapi juga psikoterapi, mengingat kondisi kejiwaan mereka setelah mendapat “pukulan berat” akibat serangan stroke tersebut.

DEFINISI

Kata “stroke” didefinisikan sebagai suatu sindroma akibat lesi vaskuler regional di Sistem Saraf Pusat (SSP) yang terjadi secara tiba-tiba dengan progresi cepat, dan dapat mengakibatkan adanya defisit neurologis lokal ataupun global sehingga terjadi kelumpuhan ataupun kematian pada penderita. Kalau lesi tersebut terjadi karena ada penyumbatan arteri, maka infark yang terjadi disebut “infark iskemik”, sedangkan kalau terjadi karena pecahnya arteri maka disebut “infark hemoragik”.
Adapun manifestasinya adalah defisit neurologik yang dapat berupa :
  1. Hemiparesis
  2. Hemiparestesia
  3. Hemiparesis dan Hemiparestesia
  4. Displegia
  5. Aphasia atau disphasia sensorik
  6. Hemiparesis dengan aphasia/ disphasia sensorik atau motorik
  7. Hemiparesis dengan hemianopia
  8. Hemiparesis alternans.

EPIDEMIOLOGI
Golongan orang yang mempunyai resiko tinggi untuk terkena stroke adalah golongan orang berumur 40 tahun ke atas dengan hypertensi yang umumnya hidup di daerah perkotaan yang dihadapkan dengan pola hidup modern yang cenderung kurang sehat.Di Negara Amerika stroke merupakan penyebab kematian utama yang ke tiga,sedangkan pada Negara lain stroke merupakan penyebab kematian yang ke dua, di Indonesia khususnya di Surabaya menurut Budiarto G pada tahun 2002 di laporkan sedikitnya 1500 pasien stroke baru di lima rumah sakit (RS.Darmo, RS.Haji, RS.Adi Husada, RKZ dan RS.Dr.Soetomo). Pada golongan masyarakat ini biasanya memiliki elastisitas pembuluh darah yang tidak bagus, sehingga mudah untuk rupture atau pecah. Suasana kota yang tidak nyaman, suhu yang panas, pencemaran air, udara dan suara dan lain-lain merupakan hal-hal yang dapat memicu terjadinya stress Selain umur yang berkorelasi positif dengan resiko stroke, Diabetes Millitus, keturunan, obat anti hamil, efek merokok dan penyakit jantung akan meningkatkan factor resiko sehingga sangat berhubungan dengan insidence stroke.

PATOFISIOLOGI

A. ANATOMI

Tempat-tempat Arterosklerotik
Tempat-tempat Arterosklerotik
Tempat Sumbatan
Tempat Sumbatan
Daerah Suplay dari Arteri-arteri Cerebri
Daerah Suplay dari Arteri-arteri Cerebri

B. PENYEBAB / PREDISPOSISI / FAKTOR  RESIKO

Adapun regulasi dan penyesuaian peredaran darah serebral dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor extrinsik dan intrinsik.
  1. Faktor Extrinsik, berupa :
  • Tekanan daerah sistemik
  • Kemampuan jantung untuk memompa daerah ke sirkulasi sistemik.
  • Kwalitas pembuluh darah kortico vertebral.
  • Kwalitas darah yang menentukan viskositasnya.
  1. Faktor Intrinsik, berupa :
  • Autoregulasi arteri cerebral
  • Faktor biokimiawi regional (konsentrasi asam laktat dan ion hidrogen)
  • Peran susunan saraf otonom (tapi hanya sedikit)
Apabila proses normal tersebut terganggu, misalnya penurunan CBF regional, maka akibatnya adalah adanya suatu daerah otak yangtidak mendapatkan aliran darah yang mengangkut O2 dan glukose yang penting untuk metabolisme di otak. Daerah tersebut dinamakan “daerah iskemik”, dimana didapatkan :
  1. Tekanan perfusi yang rendah
  2. PO2 turun
  3. CO2 dan asam tertimbun
Penurunan CBF bisa terjadi karena adanya arteri yang berperan untuk mensuplai darah ke daerah otak tersebut tersumbat atau pecah. Kalau lesi tersebut terjadi karena ada penyumbatan arteri, maka infark yang terjadi disebut “infark iskemik”, sedangkan kalau terjadi karena pecahnya arteri maka disebut “infark hemoragik”. Hal tersebut mendasari pembagian stroke menjadi dua tipe, yaitu :
  1. Stroke iskemik, yang dibedakan menjadi dua :
  1. Stroke trombotik, disebabkan karena penyumbatan pembuluh darah oleh bekuan darah atau thrombus. Atherosclerosis plaque dapat mempersempit pembuluh darah, sehingga membuat aliran darah lebih bergejolak dan mendorong terbentuknya bekuan darah atau thrombus.
  2. Stroke embolik, dimana penyumbatan disebabkan oleh suatu fragmen dari thrombus, yaitu embolus yang dapat masuk kedalam arteri-arteri yang lebih kecil di dalam otak. Seseorang dengan penyakit jantung akan lebih beresiko karena selalu embolus yang kurang dapat berfungsi dengan baik di jantung akan terbawa oleh aliran darah ke otak.
  1. Stroke Hemoragik
Yaitu stroke dimana pembuluh vasculer yang mengalami arteriosklerotik pecah akibat tekanan intravaskuler yang tinggi, sehingga menyebabkan sering pendarahan.
Dalam beberapa jam penderita dapat jatuh pada keadaan koma dan yang lebih parah bisa meninggal.
FAKTOR RESIKO
Adalah semua faktor yang menentukan timbulnya manifestasi stroke yang terdiri dari :
  1. Umur (lebih tua, lebih mungkin untuk mendapatkan stroke)
  2. Hipertensi
  3. Diabetes Mellitus
  4. Keturunan (untuk mengembangkan ateroma/ aterogenik)
  5. Penyakit jantung (stenosis/ insufistensi mitral, coronary heart disease, cogestive heart failure)
  6. Merokok
  7. Konsumsi obat anti hamil.

LOKASI

Lokasi yang sering terkena infark adalah daerah :
  • Batang otak
  • Sub cortical
  • Cortical

PEMERIKSAAN FISIK

A.  ANAMNESA

Pokok manifestasi dari stroke adalah hemiparesis, hemiparestesia, aphasia, disartria dan hemianopia. Berikut ini adalah cara pengungkapan yang sering dikemukakan oleh orang yang menderita stroke atau keluarganya.
  • Ilustrasi. Gangguan gerakan / Hemiparesis :
  • Tulisan saya sekarang kelihatan tidak karuan
  • Rokok saya sering jatuh tanpa saya sadari
  • Kaki kanannya, sukar diatur dan karena itu jalannya kelihatan canggung.
  • Hemiparestesia hampir semuanya dikemukakan secara jelas
  • Aphasia atau disphasia motorik :
  • Dia tidak bisa bicara, tapi masih mengerti semuanya
  • Suaranya tidak jelas bicara apa dan sudah banyak yang lupa
  • Aphasia atau disphasia sensorik :
  • Bicaranya sudah tidak karuan, kata-katanya kurang jelas dan tidak punya arti.
  • Kalau diajak bicara, jawabannya yang aneh-aneh.
  • Disartria di ilustrasikan dengan kalimat :
- Bicaranya pelo
  • Hemianopia diilustrasikan dengan kalimat :
  • Ketika saya melirik ke kiri, semuanya tampak gelap, tapi sekarang saya sudah bisa melihatnya
  • Sewaktu-waktu saya tidak bisa melihat meja kerja saya.

INSPEKSI

Dari pemeriksaan dan pengamatan secara klinis menemui penderita stroke, didapatkan bahwa ada beberapa kelainan, antara lain :
  1. Hemiparesis yang sudah jelas, dimana kelumpuhan sudah tidak diragukan lagi.
  2. Ketangkasan gerakan sudah tidak ada pada tangan / tangan serta tungkai atau kaki yang lumpuh.
  3. Ketangkasan gerakan yang berkurang bila penderita masih mempunyai tenaga yang cukup kuat.
  4. Gangguan motorik pasca stroke yaitu :
  • Sindroma parkinson berupa faices miopatika, bradikinesis sampai akinesis, rigiditas, tremor
  • Marche a petit pas yaitu berjalan dengan langkah kecil-kecil
  1. Adanya gangguan miksi dan defeksi berupa inkontinensia urine / alvi dan retensia urine.

PALPASI

  • Motorik
  1. Pemeriksaan ketangkasan gerakan.
  2. Penilaian tenaga otot-otot
  3. Penilaian tonus otot
  • Sensorik
  • Menilai kepekaan indra perapa dan indera yang lain
  • Reflex
  1. Penilaian Reflex Tendor
  2. Penilaian Reflex Patologik
  • Test-Test Khusus
  • Pemeriksaan tekanan darah karena biasanya penderita juga hipertensi

PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
  1. Darah
  • Pemeriksaan kadar glukosa dalam darah.
2. Urine
  • Pemeriksaan kadar glukosa dalam urine, karena biasanya terdapat glukosuria pada waktu penderita masuk rumah sakit.
3. Elektrolit
  • Perlu pemeriksaan elektrolit untuk dapat mengadakan air/garam secara tepat. Hal ini berhubungan dengan adanya gangguan keseimbangan air/ garam.
4. Liquinor
  • Pemeriksaan dilakukan dengan punksi lumbal untuk mengetahui apakah liquornya jernih atau terdapat perdarahan. Hal ini dapat menunjukkan adanya stroke yang disebabkan oleh infark serebri hemorogik.
B.  FOTO
  • Thorax
  • CT Scan / MRI
C. EMG (Electromygrofi)

TERAPI

Setelah melakukan diagnosa dan telah ditentukan tipe stroke yang diderita (stroke iskemik atau hemorogik) baru bisa dilakukan terapi dan perawatan berdasarkan tipe stroke tersebut..

1. PERAWATAN STROKE ISKEMIK

  1. Pemberantasan Edeme Serebri
  2. Pemeliharaan tekanan perfusi cerebral yang optimal
  3. Terapi korektif terhadap kelainan sebagai berikut :
  • Diabetes Mellitus
  • Untuk memperbaiki faktor perlekatan trombosit
  • Odema paru
2. PERAWATAN STROKE HEMOROGIK
  1. Menurunkan tekanan darah secara pelan-pelan
  2. Mempercepat penghentian perdarahan
  3. Terapi korektif terhadap kelinan seperti pada perawatan stroke obtion 3
  4. Antikonvulsan bila timbul kejang.
3. PERAWATAN PASCA STROKE
Pada rehabilitasi, terapi dengan obat-obatan dilakukan jika pada saat Pemeriksa follow up ditemukan kemunduran baik fisik maupaun mental, sebagai berikut :
  1. Manifestasi proses dimensia mulai tampak
  2. Gangguan organik brain syndrome
  3. Tanda Parkinsonisme
  4. Infeksi & Diabetes Mellitus
  5. Secara Umum, bisa diberikan :
  • Acetosal 80 – 320 mg / hari
  • Tiklopidin 250 – 500 mg/hari ( bila tidak tahan acetosal )
  • Acetosal dosis rendah 80 mg + citostozal 50 –100 mg/hari
  • Acetosal 80 mg + dipridamol 75-150 mg/hari.
4. TINDAKAN OPERATIF
Hanya dilakukan pada pasien dengan indikasi tertentu, seperti :
  • Phlebotomy untuk polisitemia
  • Enarterektomy Carotis hanya dilakukan pada pasien yang siptomatik dengan stenosis 70-99% unilateral & baru
  • Tindakan operatif lainnya (reseksi artery vein malformation / AVM, kliping aneurisma Berry)
REHABILITASI STROKE
  • Rehabilitasi berasal dari bahasa latin, yaitu Re yang berarti kembali danhabil yang berarti kemampuan, sehingga kata Rehabilitasi berarti mengembalikan kemampuan ke kondisi yang optimal.
Adapun tindakan-tindakan untuk rehabilitasi stroke terdiri dariPsychoteurapy,Ffisioteurapy, Sociotheurapy dan OccupationalTteurapy.
  1. PSIKOTERAPI
Merupakan suatu terapi untuk memantau dan menenangkan kondisi kejiwaan penderita stroke yang tentunya sudah dikacaukan oleh kenyataan bahwa kesembuhan yang mutlak memang tidak mungkin pada kasus ini, pasti ada sisa-sisa defek yang diakibatkan oleh serangan stroke.
Psikoterapi dapat berupa :
  1. Indoktrinasi menyelenggarakan kegiatan untuk memberikan kesibukan dan semangat kepada penderita.
  2. Kesabaran dari dokter dan perawat dan melakukan Follow-up Adapun pemeriksaan follow-up yang bisa dilakukan adalah sebagai berikut :
  1. Meneliti kemunduran/ kemajuan fisik/ mental
Bila terdapat kemunduran maka dokter boleh memberikan terapi obat sesuai dengan manifestasi defek tersebut.
  1. Meneliti secara berkala faktor-faktor resiko, seperti :
  • Hipertensi - Obesitas
  • Keadaan jantung - Hiperlipidemia, hiperuricacidemia
  • Diabetes melitus - Hipotiroidea dan infeksi
  1. Dokter perlu memberikan penerangan/ penjelasan kepada pasien mengenai aktivitas seksual.
  2. Sikap keluarga yang memberikan cinta kasih dan suasana yang menyenangkan di rumah.
  1. FISIOTERAPI
Merupakan salah satu terapi fisik untuk membantu penderita dalam proses penyembuhan dan mengembalikan kondisi fisiknya seoptimal mungkin walau tidak akan kembali 100% seperti sedia kala.
Tahap-tahap rehabilitasi secara fisik adalah sebagai berikut :
  1. Positioning
  • Berbaring terlentang
Berbaring Terlentang
Berbaring Terlentang
  • Miring ke sisi yang sehat.
Miring ke sisi yang sehat
Miring ke sisi yang sehat
  • Miring ke sisi yang lumpuh
  • Miring ke sisi yang lumpuh
  • Miring ke sisi yang lumpuh
  • 2. Range of motion (ROM)
    • Latihan pasif  anggota gerak atas
    (Latihan ini di bantu oleh perawat,terapis atau penolong).
    • Gerakan menekuk dan meluruskan sendi bahu.
    Gerakan menekuk dan meluruskan sendi bahu
    Gerakan menekuk dan meluruskan sendi bahu
    • Gerakan menekuk dan meluruskan siku.
    Gerakan menekuk dan meluruskan siku
    Gerakan menekuk dan meluruskan siku
    • Gerakan memutar pergelangan tangan
    Gerakan memutar pergelangan tangan
    Gerakan memutar pergelangan tangan
    • Gerakan menekuk dan meluruskan pergelangan tangan.
    Gerakan menekuk dan meluruskan pergelangan tangan
    • Gerakan  memutar ibu jari.
    Gerakan  memutar ibu jari
    • Gerakan menekuk dan meluruskan jari-jari tangan.
    Gerakan menekuk dan meluruskan jari-jari tangan.
    Gerakan menekuk dan meluruskan jari-jari tangan.
    • Latihan Pasif Anggota Gerak Bawah.
    • Gerakan menekuk dan meluruskan pangkal paha.
    Gerakan menekuk dan meluruskan pangkal paha
    Gerakan menekuk dan meluruskan pangkal paha
    • Gerakan menekuk dan meluruskan lutut.
    Gerakan menekuk dan meluruskan lutut
    Gerakan menekuk dan meluruskan lutut
    • Gerakan untuk pangkal paha.
    Gerakan untuk pangkal paha
    Gerakan untuk pangkal paha
    • Gerakan memutar pergelangan kaki
    Gerakan memutar pergelangan kaki
    Gerakan memutar pergelangan kaki
    • Latihan Aktif Anggota Gerak Atas dan Bawah, meliputi :
    • Latihan I
    Latihan I
    Latihan I
    • Latihan II
    Latihan II
    Latihan II
    • Latihan III
    Latihan III
    Latihan III
    • Latihan IV
    Latihan IV
    Latihan IV
    • Latihan V
    Latihan V
    Latihan V
    • Latihan VI
    Latihan VI
    Latihan VI
    • Latihan VII
    Latihan VII
    Latihan VII
    • Latihan VIII
    Latihan VIII
    Latihan VIII
    • Latihan IX
    Latihan IX
    Latihan IX
    3. Latihan keseimbangan
    2.3 Latihan Keseimbangan
    2.3.1 Melatih keseimbangan duduk
    Melatih keseimbangan duduk
    Melatih keseimbangan duduk
    2.3.2 Melatih keseimbangan berdiri
    Melatih keseimbangan berdiri
    Melatih keseimbangan berdiri
    4. Latihan mobilisasi
    2.4.1 Latihan Mobilisasi
    • Latihan berjalan menggunakan tongkat
    Latihan berjalan menggunakan tongkat
    Latihan berjalan menggunakan tongkat
    • Latihan naik dan turun tangga tanpa menggunakan tongkat
    Latihan naik dan turun tangga tanpa menggunakan tongkat
    Latihan naik dan turun tangga tanpa menggunakan tongkat
    • Latihan naik dan turun tangga menggunakan tongkat
    Latihan naik dan turun tangga menggunakan tongkat
    Latihan naik dan turun tangga menggunakan tongkat
    2.4.2 Tata cara berpindah
    • Dari tempat tidur ke kursi
    Dari tempat tidur ke kursi
    Dari tempat tidur ke kursi
    • Dari kursi roda ke mobil
    Dari kursi roda ke mobil
    Dari kursi roda ke mobil
    5. Latihan activity of day living
    • Tata Cara Makan
    Tata Cara Makan
    Tata Cara Makan
    • Tata Cara Berpakaian
    Cara manggunakan kemeja
    Cara manggunakan kemeja
    Cara manggunakan kemeja
    Cara menggunakan celana
    Cara menggunakan celana
    Cara menggunakan celana
    • Tata cara menggunakan kamar kecil
    Tata cara menggunakan kamar kecil
    Tata cara menggunakan kamar kecil
    3. SOCIOTHERAPY
    Sebagai makhluk social yang sakit,penderita sakit stroke hendaknya dilatih untuk dapat menjalankan fungsi sosialnya sebagai seseorang manusia,meskipun tidak dapat kembali seperti semula.Sociotherapy ini meliputi :
    1.Latihan berkomunikasi
    1.Latihan berkomunikasi
    • Latihan menulis
    Latihan menulis
    Latihan menulis
    • Latihan membaca
    Latihan membaca
    Latihan membaca
    • Latihan mengucapkan huruf A, I, U, E, O
    Latihan mengucapkan huruf A, I, U, E, O
    Latihan mengucapkan huruf A, I, U, E, O
    • Latihan mendengarkan suara
    Latihan mendengarkan suara
    Latihan mendengarkan suara
    • Latihan berkomunikasi menggunakan papan yang bergambar atau berupa tulisan
    Latihan berkomunikasi menggunakan papan yang bergambar atau berupa tulisan
    Latihan berkomunikasi menggunakan papan yang bergambar atau berupa tulisan
    2. Memperbaiki daya ingat

    MASALAH REHABILITASI


    Masalah yang terjadi bisa berasal dari :
    1. Pihak penolong/ orang yang merawat :
    Berupa :      –   Keterbatasan fasilitas dan tenaga terampil seperti fisioterapi dan perawat yang cekatan.
    -   Kemampuan dokter untuk memilih terapi yang efektif.
    -    Kesabaran dan waktu.
    2. Pihak penderita/ keluarga :
    -       Adanya komplikasi/ penyakit yang menyertai (Contoh : infeksi               paru-paru, ganggaguan fungsu ginjal, jantung dan lain-lain)
    -       Pendarahan dan odem otak yang berat
    -       Ketaatan minum obat
    -       Keterbatasan biaya
    PENCEGAHAN STROKE DAN LARANGAN

    1. Pencegahan Primer
    1. Strategi kampanye nasional secara terpadu beserta program pencegahan penyakit vaskular yang lain.
    2. Membudidayakan hidup sehat dalam masyarakat :
    • Menghindari       :    Rokok, stres mental, obesitas, alkohol, konsumsi garam yang berlebihan, obat-obatan golongan amfetamin, kokain dan lain-lain.
    • Mengurangi        :    Kolesterol, lemak, asam urat dalam makanan
    • Menganjurkan    :    Konsumsi gizi seimbang dan olah raga secara teratur
    • Mengendalikan   :    Hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung dan penyakit atherosklerotik lainnya dengan menganjur pola hidup sehat seperti diatas.
    2. Pencegahan Sekunder
    1. Modifikasi gaya hidup beresiko stroke dan faktor resiko (Telah dijelaskan sebelumnya)
    2. Melibatkan peran serta keluarga seoptimal mungkin
    3. Obat-obat yang digunakan (Telah dijelaskan sebelumnya)
    4. Tindakan Invasif
    .

    DAFTAR PUSTAKA

    Sidharta, Priguna. M. D, ph.D. 1999. Neurologi Klinis dalam Proyek Umum. Dian Rakyat : Jakarta.
    Sidharta, Priguna. Prof. Dr. dan Prof. Dr. Mohar Mardjono.Neurologi Klinis Dasar. Edisi ke 5.
    Panitia medik farmasi dan terapi RSUD Dr. Soetomo. 1994.Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/ UPF Ilmu Penyakit Saraf.RSUD Dr. Soetomo : Surabaya.
    Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga, jilid I, Fakultas Kedokteran UI. 2001. Media Aesculapius : Jakarta.
    Olson, James. M:D, ph. D. 2003 Clinical Pharmacology : Metode Ridiculously Simple. EGC : Jakarta.
    http//www@yahoo.com – Recovery dan Rehabilitasi dalam 1 atap.
    http//www@yahoo.com –Rehabilitasi pasca stroke.